Sebuah drama bertajuk ‘Kirana’ dipentaskan di panggung teater kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta beberapa waktu lalu. Drama ini diadaptasi dari cerpen bertajuk sama dari kumpulan buku 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori. Dian Sastro memerankan tokoh utama Nadira dengan sangat apik di bawah Sutradara Dramawan Arswendy Nasution
Dalam kisah itu, Nadira adalah istri yang seringkali merasa kesal dengan sikap suaminya. Kebiasaan suami Nadira yang hobi berbohong, membuat hidup Nadira semakin tidak nyaman. Sang suami pun kerap menuduh Nadira berselingkuh, meskipun diakui Nadira itu tidak benar. Akhirnya, keputusan cerai pun harus diambil. “Bila ikatan perkawinan tak lagi bisa dipertahankan, tak ada salahnya bercerai”, demikian kata Nadira.
Cerita di atas tak ubahnya dengan cerita pasangan selebriti di negeri ini. Nikah-cerai seolah menjadi trend. Ada Dewi Persik dan Aldi, Maia Ratu dan Ahmad Dhani, Vira Yuniar dan Teuku Ryan. Yang terakhir adalah Krisdayanti (KD) dan Anang Hermansyah. Ikatan perkawinan sepertinya tidak lagi dianggap sebagai ikatan yang sakral.
Saya yakin, setiap keputusan perceraian yang diambil oleh suami maupun istri, sudah tentu dengan pertimbangan yang matang. Bukan sesuatu yang mudah untuk merobohkan ikatan perkawinan yang dibangun selama bertahun-tahun. Saya lalu bertanya, lantas mengapa pada setiap perselisihan dalam rumah tangga, selalu berujung pada kata ‘cerai’? Bagaimana mengokohkan bangunan keluarga agar tidak mudah diterpa angin, sekencang apa pun?
Membangun Landasan Keluarga yang Kokoh
Kuat tidaknya sebuah bangunan, sangat bergantung pada pondasinya. Seberapa kuat sebuah pondasi menyokong sebuah bangunan, tergantung pada bahan-bahan dasar pondasi itu. Keluarga pun demikian. Keluarga yang kokoh dibangun oleh pondasi yang kokoh. Apa pondasinya? Tidak lain dan tidak bukan adalah visi dan misi. Di sanalah suami dan istri menuangkan arah pandang mereka tentang sebuah keluarga.
Menikah adalah untuk mencapai kebahagiaan. Sebagaimana Allah sampaikan dalam surat Ar-Rum:21, “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang”.
Anda pastinya sudah sangat mengenal surat itu. Tentu saja karena surat itu telah menjadi kalimat wajib yang pantang dilupa untuk dicantumkan dalam setiap undangan pernikahan. Saya sendiri belum tahu bagaimana sejarah pencatutan surat tersebut pertama kali 😉 (Kalau menikah nanti, saya memilih surat yang lain saja ah, biar nggak dibilang plagiat, hehehe…).
Lalu, apa visi dalam membangun sebuah keluarga? Yaitu mewujudkan keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang. Tentram karena diridhoi Allah SWT. Suami, istri dan anak-anak hidup semata-mata untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya secara totalitas. Interaksi di antara suami dan istri dibangun bukan dalam rangka meraih kenikmatan fisik, melainkan untuk mencapai keridhoan Allah. Tidak ada lagi sikap saling curiga, mau menang sendiri, arogan, dan lain-lain. Istri melayani suami tidak semata karena kasih sayang, tetapi demi mendapatkan ridho-Nya. Suami mencari nafkah bukan semata mencari uang, tetapi dalam rangka melaksanakan perintah Allah.
Berbeda halnya jika sebuah keluarga dibangun berdasarkan harapan menumpuk materi sebanyak-banyaknya, suami yang tampan, istri yang cantik, mobil mewah dan kenikmatan-kenikmatan fisik lainnya, hanya akan menghasilkan suami yang stress. Dalam kondisi begitu, suami dengan mudahnya bisa mencari perempuan lain yang lebih memikat hatinya sebagai pelampiasan. Pada saat yang bersamaan, istri yang kesepian akan berusaha mencari tempat bersandar atas beban hidup yang sedang ia tanggung. Anak-anak sudah bisa ditebak bagaimana nasibnya kemudian. Karena loss of control, mereka pun kehilangan arah hidup. Rapuh, iya. Free sex, ngedrug, dan anarkisme pun menjadi teman bermain mereka. Lahirnya generasi tangguh harapan bangsa tinggallah mimpi.
***
Adapun Misi sebuah keluarga adalah pertama, fungsi internal. Yaitu mencetak individu baik suami, istri dan anak-anak menjadi berkepribadian islam. Standar berpikirnya adalah aqidah islam. Dengan demikian, setiap terjadi perselisihan antara anggota keluarga, standar yang digunakan jelas, yakni aqidah islam. Setiap persoalan diselesaikan dengan musyawarah dan penuh ungkapan kasih. Jika suami melakukan kesalahan, istri akan mengingatkannya dengan penuh rasa hormat. Sebaliknya, jika istri melakukan kesalahan, seorang suami tidak serta merta marah, menghujat, mencela dan menghina. Dengan lembut dan penuh kasih ia akan mengarahkan sang istri. Kedua, fungsi eksternal. Yaitu amar ma’ruf nahiy mungkar. Tanggung jawab suami, istri dan anak-anak tidak terbatas pada internal keluarga saja. Tetapi juga terhadap terbangunnya masyarakat yang bahagia dan sejahtera dalam ridho Allah SWT.
Suami bertanggung jawab mendidik dan membimbing istri dan anak-anaknya. Bukan sekedar sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, tetapi karena perintah Allah. Meskipun kewajiban menafkahi keluarga ada di pundak suami, membuat ia selalu berhati-hati setiap kali memilih pekerjaan. Karena tidak semua aktivitas yang menghasilkan uang, boleh dilakukan. Ada pekerjaan yang halal, ada pula yang haram. Penghasilan dari pekerjaan yang halal akan membawa barokah bagi keluarga. Sebaliknya, yang haram akan membawa mafsadat (kerusakan) dan-sudah pasti-laknat Allah.
Sulit? Iya. Apalagi di jaman di mana antara yang halal dan haram seringkali menjadi bias. Tetapi, dengan perhitungan yang teliti serta mengikutkan kehidupan setelah maut. Bahwa siksa Allah sangat pedih bagi siapa pun yang melanggar aturanNya. Maka seorang suami akan senantiasa berpegang pada rambu-rambu perintahNya. Segala pekerjaan yang terkait dengan riba akan dijauhi. Ia senantiasa ingat bahwa Allah melaknat orang yang memberikan riba, penerimanya, para saksi dan pencatatnya. Demikian pula pekerjaan yang terkait dengan industri pornografi dan pornoaksi, perjudian, miras dan narkoba.
Keyakinan bahwa Allah Yang Menentukan rizki akan membawanya pada sikap konsisten menjauhi yang haram meskipun sulit. Tidak lantas menganggap bahwa dunia baginya terasa sempit lantaran selalu memilah-milah pekerjaan dengan mengambil yang halal saja. Dia yakin bahwa rizki tidak akan bertambah banyak dengan menghalalkan segala cara.
Keinginan dan kebutuhan keluarga yang meningkat, ditambah godaan iklan di tivi-tivi yang memikat hati, tidak membuatnya latah dalam mengambil setiap keputusan. Kredit pemilikan rumah, leasing mobil atau motor, akan selalu dipertimbangkan dan diteliti dalam rangka menjauhi unsur keharaman yakni riba yang terdapat pada aktivitas-aktivitas tersebut. Ketika ia gagal meraih apa yang diinginkannya, ia pun tidak akan depresi akibat memaksakan diri dalam dunia imaji idealnya.
Reference:
“Membangun Keluarga Dambaan”, Ridha Salamah dan Abu Zaid